Mbah Shalih Darat, Gurunya Para Kyai



Mbah Shalih Darat yakni Waliyullah besar pada paruh kedua masa ke-19 dan awal masa ke-20 di tanah Jawa. Beliau hidup satu zaman dengan dua Waliyullah besar lainnya; Syech Nawawi al-Bantani, Banten dan Syech Khalil, Bangkalan. Dua orang santri dia menjadi pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, Jombang (Pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan, Yogyakarta (Pendiri Muhammadiyah).

Nama lengkap dia yakni Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani,  lahir di Desa Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara pada sekitar tahun 1820 M/1235 H, dengan nama Muhammad Shalih.  Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia kerap memakai nama Syech Haji Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani. Pemberian nama “Darat” yang disandingkan di belakang nama dia lantaran dia tinggal di daerah bersahabat pantai utara Semarang, yakni tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini, kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang.

Mbah Shalih Darat merupakan sosok ulama yang mempunyai andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa, khususnnya di Semarang.  Ayahnya yaitu KH. Umar, yakni ulama terkemuka yang pernah dipercaya oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shalih kecil mulai mengembara dan mencar ilmu dari satu ulama ke ulama lain.

Kyai-Kyai Seperjuangan

Sebagai seorang putra kyai yang bersahabat dengan Pangeran Diponegoro, Mbah Shalih Darat mendapat banyak kesempatan untuk berkenalan dengan teman-teman ayahnya, yang juga merupakan kyai terpandang. Inilah kesempatan utama Mbah Shalih Darat di dalam menciptakan jaringan dengan ulama senior di masanya, sehingga ketokohannya diakui banyak orang. Di antara teman-teman ayahnya (kyai sepuh) yang mempunyai relasi bersahabat dengan Mbah Shalih Darat yakni :

1.) Kyai Hasan Basari (putra Kyai Nur Iman Mlangi dari garwa Gegulu), tangan kanan Pangeran Diponegoro. Salah seorang cucu Kyai Hasan Basari yaitu KH. M. Munawwir, Pendiri Pesanten Krapyak Yogyakarta, yakni salah seorang murid Mbah Shalih Darat.

2.) Kyai Syada’ dan Kyai Darda’, dua orang prajurit Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro tertawan, Kyai Darda’ yang berasal dari Kudus, kemudian menetap di Mangkang Wetan, Tugu, Semarang dan membuka Pesantren di sana. Mbah Shalih Darat pernah menuntut ilmu di Pesantren Kyai Darda’. Kyai Bulkin, putera Kyai Syada’, dinikahkan dengan Natijah, puteri Kyai Darda’, dan memperoleh anak yang berjulukan Kyai Tahir. Kyai Tahir ini (cucu kyai Darda’ dan kyai Syada’) yakni murid Mbah Shalih Darat sesudah pulang dari Makkah.

3.) Kyai Murtadha, sahabat seperjuangan Kyai Umar ketika melawan Belanda. Shafiyyah, puteri Kyai Murtadha, dijodohkan dengan Mbah Shalih Darat sesudah pulang dari Makkah.

4.) Kyai Jamsari, prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Solo dan pendiri Pondok pesantren Jamsaren, Surakarta. Ketika kyai Jamsari ditangkap Belanda, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, kemudian ditutup. Pesantren tersebut dihidupkan kembali oleh Kyai Idris, salah seorang santri senior Mbah Shalih Darat. Dialah yang menggantikan Mbah Shalih Darat selama dia sakit hingga wafatnya.

Guru-gurunya di Tanah Jawa

Sebagaimana anak seorang Kyai, masa kecil dan dewasa Mbah Shalih Darat dilewatinya dengan mencar ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa kyai yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama. Mereka yakni :

1.) KH. Muhammad Syahid, Pati

Untuk pertama kalinya Mbah Shalih Darat menuntut ilmu dari Kyai Syahid, seorang ulama yang mempunyai pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga sekarang masih berdiri. Kyai Syahid yakni cucu Kyai Mutamakkin yang hidup pada masa Paku Buwono II (1727-1749 M.). Dengan Kyai Syahid ini, Mbah Shalih Darat mengaji beberapa kitab fiqih. Di antaranya yakni kitab Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Minhajul Qawwim, Syarah al-Khatib, Fathul Wahab dan lain-lain.

2.) KH. R. Muhammad Asnawi, Kudus

Dengan Kyai R. Asnawi, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuthi.

3.) Kyai Ishak Damaran, Semarang

Dengan Kyai Ishak, Mbah Shalih Darat mengaji Nahwu dan Sharaf.

4.) Kyai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang

Dengan Kyai Abu, Mbah Shaleh Darat mengaji ilmu falak.

5.) Kyai Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang

Dengan Kyai Ahmad, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali.

6.) Syech Abdul Ghani Bima, Semarang.

Dengan Syech Abdul Ghani, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat terkenal di Jawa pada masa ke-19 M.

7.) Kyai Ahmad (Muhammad) Alim Bulus, Gebang, Purworejo

Dengan Kyai Ahmad, Mbah Shalih Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir Al-Qur’an. Oleh Kyai Ahmad (Muhammad) Alim ini, Mbah Shalih Darat diperbantukan kepada Kyai Zain al-Alim (putra Kyai Ahmad Alim) untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.

Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Mbah Shalih Darat dari beberapa gurunya, memperlihatkan betapa kemampuan dan keahlian Mbah Shalih Darat di bidang ilmu agama.
Pergi ke Makkah

Setelah mengaji di beberapa daerah di Jawa, Mbah Shalih Darat bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ayahnya wafat di Makkah, kemudian Mbah Shalih Darat menetap di Makkah beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama. Pada waktu itu, masa ke-19, banyak santri Indonesia yang berdatangan ke Makkah guna menuntut ilmu agama di sana. Termasuk Mbah Shalih Darat. Beliau pergi ke Makkah dan bermukim di sana guna menuntut ilmu agama dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, tidak diketahui secara niscaya tahun berapa dia pergi ke Makkah dan kapan dia kembali ke tanah air.

Guru-gurunya di Makkah

Yang jelas, selama di Makkah, Mbah Shalih Darat telah berguru kepada tidak kurang dari sembilan ulama setempat. Mereka yakni :

1.) Syech Muhammad al-Maqri al-Mishri al-Makki.

Dengan Syech Muhammad al-Maqri, dia mengaji ilmu-ilmu aqidah, khususnya kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi (as-Sanusi).

2.) Syech Muhammad bin Sulaiman Hasballah.

Beliau yakni pengajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dengan Syech Muhammad bin Sulaiman, Mbah Shalih Darat mengaji ilmu fiqih dengan memakai kitab Fathul Wahhab dan Syarah al-Khatib serta ilmu Nahwu dengan memakai kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Sebagaimana tradisi mencar ilmu tempo dulu, sesudah menuntaskan pelajaran-pelajaran tersebut, Mbah Shalih Darat juga memperoleh “Ijazah”. Adanya istilah ijazah dikarenakan penerimaan ilmu tersebut mempunyai sanad. Dalam hal ini, Mbah Shalih Darat mendapat ilmu dari Syech Muhammad bin Sulaiman Hasballah yang memperoleh ilmu tersebut dari gurunya, Syech Abdul Hamid ad-Daghastani, dan ad-Daghastani mendapat dari Ibrahim Bajuri yang mendapat ilmunya dari asy-Syarqawi, pengarang kitab Syarah al-Hikam.

3.) Al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Mufti madzhab Syafi’iyah di Makkah.

Dengan Sayyid Ahmad, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Ihya Ulumuddin. Dari sini, dia juga mendapat ijazah.

4.) Al-‘Allamah Sayyid Ahmad an-Nahawi al-Mishri al-Makki.

Dengan Sayyid Ahmad an-Nahawi, Mbah Shalih Darat mengaji kitab al-Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah.

5.) Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi.

Dengan Sayyid Muhammad, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Ihya Ulumuddin juz 1 dan 2.

6.) Kyai Zahid.

Dengan Kyai Zahid, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Fathul Wahhab.

7.) Syech Umar asy-Syami.

Dengan Syech Umar, Mbah Shalih Darat juga mengaji kitab Fathul Wahhab.

8.) Syech Yusuf as-Sanbalawi al-Mishri.

Dengan Syech Yusuf, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Syarah at-Tahrir karya Imam Zakariya al-Anshari.

9.) Syech Jamal, seorang Muftti Madzhab Hanafiyyah di Makkah.

Dengan Syech Jamal, Mbah Shalih Darat mengaji kitab Tafsir Al-Qur’an.

Dari sinilah, Mbah Shalih Darat mendapat ijazah ketika selesai mempelajari kitab-kitab tertentu, semisal kitab Fathul Wahhab, Syarah al-Khatib dan Ihya Ulumuddin. Dari sini pulalah apa yang dipelajari Mbah Shalih Darat dari kitab-kitab tersebut, besar lengan berkuasa besar terhadap isi kitab yang dikarangnya, yaitu kitab Majmu’ al-Syariat al-Kafiyah li al-awwam.

Jaringan Ulama Indonesia Di Makkah

Semasa mencar ilmu di Makkah, Mbah Shalih Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang mencar ilmu di sana. Di antara para ulama yang satu zaman dengannya adalah:

1.) Syech Nawawi Banten, disebut juga Syech Nawawi al-Bantani.

Beliau yakni salah seorang ulama Banten yang sangat produktif dalam menulis kitab. Bahkan dia pernah menjadi pengajar di Masjid al-Haram, Makkah.

Baca juga: Biografi Syech Nawawi al-Bantani

2.) Syech Ahmad Khatib al-Minangkabau.

Beliau seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhammadiyah yaitu KH. Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Syech Ahmad Khatib al-Minangkabau. Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kitab an-Nafahat dan al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.

3.) Syech Mahfuzh at-Tirmasi.

Beliau yakni kakak dari Syech Dimyati, Termas, Pacitan. Selama di Mekkah, dia juga berguru kepada Syech Ahmad Zaini Dahlan. Beliau wafat pada tahun 1338 H (1918 M).

4.) Syech Khalil Bangkalan, Madura.

Beliau yakni salah seorang sahabat bersahabat Mbah Shalih Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para kyai pada selesai masa ke-19 dan awal masa ke-20. Beliau mencar ilmu di Makkah sekitar pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1923.

Pulang Ke Tanah Air

Ketinggian ilmu Mbah Shalih Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kyai besar, tetapi juga bisa dilihat dari ratifikasi penguasa Makkah dikala Mbah Shalih Darat bermukim di Makkah. Beliau dipilih menjadi salah seorang pengajar di Makkah. Di sinilah Mbah Shalih Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo, Pendiri Pondok Pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Beliau merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan Mbah Shalih Darat ke bumi Semarang. Melihat kealiman Mbah Shalih Darat, Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang gotong royong ke tanah air untuk menyebarkan Islam dan mengajar umat Islam di Jawa yang masih awam.

Namun, lantaran Mbah Shalih Darat sudah diikat oleh penguasa Makkah untuk menjadi pengajar di Makkah, sehingga seruan pulang itu ditolak secara halus. Akan tetapi, Mbah Hadi Girikusumo nekat, Mbah Shalih Darat disembunyikan dan diajak pulang ke Jawa. Agar tidak ketahuaan, dikala mau naik kapal bahari untuk pulang ke Jawa, Mbah Shalih Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaannya. Di tengah-tengah perjalanan ke Jawa, usaha tersebut diketahui pemerintah Makkah, kalau Mbah Hadi menyembunyikan salah seorang ulama di Masjid Makkah. Akhirnya, pada dikala kapal bahari merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap. Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda. Para murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya sedang menghadapi masalah besar, alhasil membantu menuntaskan masalah tersebut dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan Mbah Hadi dan menebus uang ganti kepada penguasa Makkah atas kepergian Mbah Shalih Darat. Akhirnya, Mbah Hadi dan Mbah Shalih Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat di Jawa.

Mbah Hadi eksklusif kembali ke Girikusumo, Mranggen, Demak. Sedangkan Mbah Shalih Darat menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut usaha Islam. Sayang sekali, sepeninggal Mbah Shalih Darat, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, sekarang di bekas pesantren yang dulu dipakai oleh Mbah Shalih Darat untuk mengajar mengaji, hanya berdiri sebuah masjid yang masih dipakai untuk menjalankan ibadah umat Islam di kampung Darat Semarang.

Menikah

Selama hidupnya, Mbah Shalih Darat pernah menikah sebanyak tiga kali. Pernikahan yang pertama yakni ketika dia masih berada di Makkah. Tidak terang siapa nama istrinya. Dari kesepakatan nikah yang pertama ini, dia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Mbah Shalih Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Mbah Shalih Darat memakai nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.

Pernikahan yang kedua dengan Nyai Sofiyah, puteri Kyai Murtadha sahabat karib ayahnya, Kyai Umar, sesudah dia kembali di Semarang. Dari kesepakatan nikah ini, dia dikarunia dua orang putra, Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. Sedangkan kesepakatan nikah yang ketiga dengan Nyai Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari kesepakatan nikah ini, dia dikaruniai beberapa anak. Salah satu keturunannya yakni Siti Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan Kyai Dahlan santri Mbah Shalih Darat dari Tremas, Pacitan, Jatim. Dari kesepakatan nikah ini melahirkan dua orang anak, masing masing Rahmad dan Aisyah. Kyai Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan Kyai Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Pernikahan kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.

Mengasuh Pesantren

Dalam sejarah pesantren, Mbah Shalih Darat layak disebut sebagai “Delegator Pesantren”. Karena dia tidak pernah ikut membesarkan pesantren orang tuanya, sebagaimana mafhumnya belum dewasa kyai. Beliau justru lebih menentukan membantu memajukan pesantren orang lain dan menciptakan pesantren sendiri, dengan tanpa maksud menobatkan dirinya sebagai pengasuh pesantren.

Masa dedikasi Mbah Shalih Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di Pesantren Salatiyang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar masa ke-18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kyai Ahmad (Muhammad ) Alim, Kyai Muhammad Alim (putra Kyai Ahmad Alim), dan Kyai Zain al-Alim (Muhammad Zein, juga putra Kyai Ahmad Alim). Dalam perkembangan selanjutnya Pesanten ini dipercayakan kepada Kyai Zain al-Alim. Sementara Kyai Ahmad (Muhammad) Alim mengasuh sebuah pesantren, belakangan berjulukan Pesantren al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang, Purworejo.  Adapun Kyai Muhamad Alim (putra Kyai Ahmad Alim) menyebarkan pesantrennya juga di Desa Maron, yang sekarang dikenal dengan Pesantren al-Anwar. Jadi, kedudukan Mbah Shalih Darat yakni sebagai pengajar yang membantu Kyai Zain al-Alim (Muhammad Zein).

Pesantren Salatiyang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan Al-Qur’an, di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, Mbah Shalih Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, ibarat fiqih, tafsir dan nahwu sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal Al-Qur’an.

Di antara santri lulusan Pesantren Salatiyang yakni Kyai Baihaqi (Magelang), Kyai Ma’aif (Wonosobo), Kyai Muttaqin (Lampung Tengah), Kyai Hidayat (Ciamis) Kyai Fathullah (Indramayu), dan lain sebagainya.

Tidak jelas, berapa usang Mbah Shalih Darat mengajar di Pesantren Salatiyang. Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar tahun 1870-an, Mbah Shalih Darat mendirikan sebuah pesantren gres di Darat, Semarang. Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya, yaitu  al-Hikam, yang ditulis dengan memakai Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. Pesantren Darat merupakan pesantren tertua kedua di Semarang sesudah Pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang, yang didirikan oleh Kyai Syada’ dan Kyai Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula Mbah Shalih Darat pernah menimba ilmu sebelum dia pergi ke Makkah.

Selama mengasuh pesantren, Mbah Shalih Darat dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena faktor inilah, Pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggal Mbah Shalih Darat, pada 1903 M. Konon, bersamaan wafatnya Mbah Shalih Darat, salah seorang santri seniornya, Kyai Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke Solo. Kyai Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali Pondok Pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh Kyai Jamsari.

Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh Mbah Shalih Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu yang diikuti oleh para santri kalong. Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan Pesantren Darat dengan Pesantren Dondong, Mangkang, dimana Mbah Shalih Darat pernah mencar ilmu di sana, bisa menghipnotis tingkat ketawadhu’an kyai sepuh.

Masjid Peninggalan Mbah Sholeh Darat di Semarang


Santri-santrinya

Di antara tokoh yang pernah mencar ilmu kepada Mbah Shalih Darat adalah; KH. Hasyim Asy’ari, Jombang (Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan, Yogyakarta (Pendiri Muhammadiyah), KH. R. Dahlan Tremas, Pacitan, seorang Ahli Falak (wafat 1329 H), Kyai Amir, Pekalongan (wafat 1357 H) yang juga menantu Mbah Shalih Darat, Kyai Idris (nama aslinya Slamet) Solo, Kyai Sya’ban bin Hasan Semarang, yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya”, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bab dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Mbah Shalih Darat, Kyai Abdul Hamid, Kendal, Kyai Thahir, penerus Pondok Pesantren, Dondong, Mangkang Wetan, Semarang, Kyai Sahli, Kauman Semarang, Kyai Dimyati Tremas, Pacitan, Kyai Khalil, Rembang, Kyai Munawwir, Krapyak Yogyakarta, Kyai Dahlan, Watucongol, Muntilan, Magelang, Kyai Yasin, Rembang, Kyai Ridwan Ibnu Mujahid, Semarang, Kyai Abdus Shamad, Surakarta, Kyai Yasir Areng, Rembang, serta RA. Kartini, Jepara.

Pertemuannya Dengan RA. Kartini

Mbah Shalih Darat yakni sosok yang tidak terikat dengan alian-aliran dalam Islam. Beliau justru sangat menghargai aliran yang berkembang dikala itu. Beliau lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (dasar) Islam, dan bukan furu’iyyah (cabang). Lebih dari itu, Mbah Shalih Darat dikenal sebagai sosok penulis tafsir Al-Qur’an dengan memakai bahasa Jawa (Arab Pegon). Beliau sering memperlihatkan pengajian, khususnya tafsir Al-Qur’an di beberapa pendopo Kabupaten di sepanjang pesisir utara Jawa.

Sampai suatu ketika, RA. Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan, khususnya untuk anggota keluarga. RA. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain di balik hijab (tabir/tirai). RA. Kartini merasa tertarik perihal bahan yang disampaikan pada dikala itu, tafsir surah al-Fatihah, oleh Mbah Shalih Darat. Setelah pengajian selesai, RA. Kartini mendesak pamannya supaya bersedia menemaninya untuk menemui Mbah Shalih Darat. Ia mengemukakan: “Saya merasa perlu memberikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada romo kyai dan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah swt. atas keberanian romo kyai menerjemahkan surah al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa sehingga gampang dipahami dan dihayati oleh masyarakat awam, ibarat saya. Kyai lain tidak berani berbuat ibarat itu, lantaran kata mereka Al-Qur’an dihentikan diterjemahkan ke dalam bahasa lain.” Lebih lanjut RA. Kartini menjelaskan: “Selama ini, surah al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi semenjak hari ini menjadi terang benderang hingga kepada makna yang tersirat sekali pun, lantaran romo kyai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami”.

Dalam sebuah pertemuan, RA. Kartini meminta supaya Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa lain (Jawa) lantaran menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Akan tetapi, pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Mbah Shalih Darat berani melanggar larangan Belanda ini. Beliau menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf “Arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah Belanda. Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an ini diberi nama kitab Faidh ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada RA. Kartini pada dikala dia menikah dengan RM. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. RA. Kartini sangat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini, al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi semenjak hari ini ia menjadi terang-benderang hingga kepada makna tersiratnya, lantaran Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” Melalui terjemahan Mbah Shalih Darat itulah RA. Kartini menemukan ayat yang sangat menyentuh nuraninya: “Orang-orang beriman dibimbing oleh Allah dari gelap menuju cahaya” (QS. Al-Baqarah : 257). Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, RA. Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya. Namun, sayangnya penerjemahan kitab ini tidak selesai lantaran Mbah Shalih Darat keburu wafat.

Baca juga: Kisah RA. Kartini Ngaji Pada Mbah Sholeh Darat

Mbah Shalih Darat selalu menekankan kepada muridnya supaya ulet menimba ilmu. Karena intisari fatwa Al-Qur’an, menurutnya, yakni dorongan kepada umat insan supaya mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan di darul abadi nanti.

Karya-karyanya

Mbah Shalih Darat yakni sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang ditopang kebersahajaan pribadinya, membuatnya selalu merendah dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang Jawa yang tak paham seluk-beluk centang-perenang bahasa Arab. Ini terlihat dari karangan-karangan dia dimana pada setiap prolog selalu tertulis, “Buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang kurang berilmu ibarat saya”. Dalam terjemahan kitab Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini kitab ringkasan dari kitab Matan al-Hikam karya al-‘Allamah al-‘Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibn ‘Atha’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, supaya memudahkan terhadap orang awam ibarat saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa supaya cepat paham bagi orang yang mencar ilmu agama atau mengaji”.

Ternyata, basis pemikiran sederhana ini, justru memotivasinya untuk melahirkan bermacam-macam karya intelektual yang bertujuan terarah yakni, pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang Jawa yang tak mengerti benar bahasa Arab. Niat nrimo inilah yang di kemudian hari diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.

Di selesai masa ke-19 dan awal masa ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikit dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kyai Ahmad Rifa’i dari Tempuran, Kendal dan wafat di Kalisalak, Batang (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, sepertinya Mbah Shalih Darat yakni satu-satunya kyai selesai masa ke-19 yang karya tulis keagamaannya berbahasa Jawa.

Adapun karya-karya Mbah Shalih Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah tidak kurang dari 13 buah, yaitu:

1.) Kitab Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam.

Kitab ini khusus membahas masalah fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.

2.) Kitab Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali.

Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya Ulumuddin juz 3 dan 4.

3.) Kitab Al-Hikam karya Imam Ahmad bin ‘Atha’illah.

Merupakan terjemahan dalam bahasa Jawa.

4.) Kitab Lathaif al-Thaharah.

Berisi perihal hakikat dan diam-diam shalat, puasa dan keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.

5.) Kitab Manasik al-Hajj.

Berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.

6.) Kitab Pasholatan.

Berisi hal-hal yang berafiliasi dengan shalat (tuntunan shalat) lima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon.

7.) Kitab Sabilul ‘Abid terjemahan kitab Jauhar at-Tauhid karya Imam Ibrahim Laqqani.

Merupakan terjemahan berbahasa Jawa.

8.)Kitab Minhaj al-Atqiya’.

Berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah swt.

9.) Kitab Al-Mursyid al-Wajiz.

Berisi perihal ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu Tajwid.

10.) Kitab Hadits al-Mi’raj

11.) Kitab Syarah Maulid al-Burdah

12.) Kitab Faidh ar-Rahman.

Ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891 M. kitab ini diterbitkan di Singapura.

13.) Kitab Asnar as-Shalah

Kini, Mbah Shalih Darat mempunyai sekitar 70 trah (keturunan) yang tersebar di aneka macam daerah. Biasanya, dalam waktu-waktu tertentu mereka berkumpul dan bersilaturahmi di Masjid Mbah Shalih Darat di Jln. Kakap/Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari yang terletak di Semarang Utara.

Dari pertemuan silaturahmi ini, telah 13 kitab karya Mbah Shaleh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura. Hingga kini, keturunan Mbah Shalih Darat terus melaksanakan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan Mbah Shalih Darat di Jepara, Kendal, bahkan hingga ke negara-negara Timur Tengah.

Karomahnya

Sebagai Waliyullah, Mbah Shalih Darat juga dikenal mempunyai karomah. Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka mengunjungi makamnya yakni Gus Miek (KH. Hamim Jazuli). Meski wafat di bulan Ramadhan, haul Mbah Shalih Darat diperingati setiap tanggal 10 Syawal di makamnya, yakni di kompleks pemakaman umum Bergota, Semarang.

Makam Mbah Shalih Darat Semarang
Dikisahkan, bahwa suatu ketika Mbah Shalih Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian, lewatlah tentara Belanda berkendara mobil. Begitu kendaraan beroda empat mereka menyalip Mbah Shalih, tiba-tiba mogok. Mobil itu gres bisa berjalan lagi sesudah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shalih Darat. Di lain waktu, lantaran mengetahui imbas Mbah Shalih Darat yang besar, Pemerintah Belanda mencoba menyuap (menyogok) Mbah Shalih Darat. Maka, diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shalih, dengan keinginan Mbah Shalih Darat mau berkompromi dan bekerjasama dengan penjajah Belanda. Mengetahui hal ini, Mbah Shalih Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah bongkahan watu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. Namun, kemudian Mbah Shalih Darat sangat menyesal lantaran sudah memperlihatkan karamahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis bila mengingat tragedi ini hingga selesai hayatnya.

Mbah Shalih Darat wafat pada hari Jum’at Wage tanggal 28 Ramadhan 1321 H/ 18 Desember 1903 di Semarang dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang, dalam usia 83 tahun.

Wallahu A'lam


Saifurroyya
Sumber : sarkub.com & ppal-itqon.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Kyai Ageng Haji Muhammad Ulinnuha Arwani

Pesan Hikmah

Pesan Kh. Arwani Amin (Mbah Arwani Kudus)